Sejarah Penerjemahan

“Tanpa penerjemahan, tidak akan ada sejarah dunia.”
L. G. Kelly

Mempelajari sejarah penerjemahan membantu orang-orang yang tertarik dengan penerjemahan, sastra dan kajian budaya untuk lebih memahami sumbangsih penerjemahan terhadap peradaban dan perkembangan seluruh kehidupan budaya dan intelektual. Penerjemahan terkait erat dengan kemajuan karena semua periode kebangkitan sejarah bangsa-bangsa dimulai dengan penerjemahan. Penerjemahan memperkenalkan bangsa-bangsa ke berbagai perspektif tentang jalur-jalur ke arah modernisasi dan kemajuan intelektual.

Sejarah Penerjemah Bahasa Resmi dan ersumpah

Untuk membenarkan penerjemahan sebagai suatu bidang ilmu yang independen, maka pertama-tama perlu dirumuskan sejarah penerjemahan. Dengan demikian, kita bisa memahami bagaimana berlangsungnya interaksi kultural dan intelektual antara manusia dan peradaban dari masa ke masa. Berkenaan dengan ini, seorang pakar dari Prancis, Antoine Berman menulis: “Perumusan sejarah penerjemahan adalah tugas pertama dalam teori penerjemahan modern.”

Penerjemah dari Masa ke Masa

Kata Yunani kuno untuk penerjemah atau juru bahasa adalah Hermêneus, yang secara langsung terkait dengan nama dewa Hermes. Verba Hermêneus berarti memaknai bahasa asing, menerjemahkan, menjelaskan, mengomentari, menuangkan dalam kata-kata, menyatakan, mendeskripsikan, dan menulis. Banyaknya arti lain untuk istilah Yunani yang mengacu pada penerjemah atau juru bahasa itu (perantara, penengah, dsb.) menunjukkan bahwa juru bahasa hampir bisa dipastikan telah ada pada jaman prasejarah – jaman ketika tulisan belum ditemukan.

Pada jaman kuno, gagasan dan wawasan ditransfer dari satu budaya ke budaya yang lain, terutama melalui para musafir dan pedagang. Secara bertahap, penerjemahan mulai memainkan, dan terus memainkan, peran utama dalam perkembangan budaya dunia. Misalnya, penerjemahan memainkan peran besar dalam pergerakan pengetahuan dari Yunani Kuno ke Iran, dari India ke jazirah Arab, dari Islam ke Kristen, dan dari Eropa ke Cina dan Jepang.

Ada dua contoh historis besar bagaimana penerjemahan memperkenalkan satu budaya ke budaya yang lain. Pertama adalah penerjemahan kitab suci Budha dari berbagai ragam bahasa India ke dalam bahasa Cina. Kedua adalah penerjemahan karya-karya filsuf dan ilmuwan Yunani dari bahasa Yunani dan Syam ke dalam bahasa Arab, yang dengan demikian memperkenalkan mereka dengan dunia Islam.

Sejarah budaya dunia dari sudut pandang penerjemahan mengungkapkan adanya aliran gagasan dan bentuk yang konstan, dan aliran budaya yang secara konstan menyerap pengaruh-pengaruh baru berkat karya para penerjemah. Hal ini membuyarkan asumsi bahwa segala sesuatu berasal dari Barat dan mengalahkan gagasan pembatasan yang kaku antara Timur dan Barat.

“Para penerjemah telah menemukan huruf, membantu membangun bahasa dan menulis kamus. Mereka berjasa besar atas kebangkitan kesusastraan bangsa, penyebaran pengetahuan dan agama. Dengan menjadi importir nilai-nilai budaya asing dan pemain kunci di berbagai momen besar sejarah, para penerjemah dan juru bahasa telah memainkan peran yang menentukan dalam perkembangan masyarakat mereka dan telah berjasa dalam pengungkapan sejarah intelektual itu sendiri.” (“Translators through History”, Jean Delisle dan Judith Woodsworth, John Benjamins Publishing Co., 1995)

“History will be kind to me for I intend to write it.”
Sir Winston Churchill
 

Penerjemahan dan Budaya

“Hukum agung budaya: Biarkan segala sesuatu menjadi apa saja sesuai dengan kemampuan penciptaannya.”
Thomas Carlyle 

Memisahkan bahasa dan identitas budaya itu sulit. Suatu bahasa tidak akan bisa menyatakan makna bahasa yang lain. Ada perbedaan antara makna inheren dengan makna yang ditangkap dan dinyatakan. Dalam hal ini, bahasa yang berlainan cenderung mendorong penuturnya untuk berpikir berbeda pula, artinya, mengarahkan perhatian mereka ke berbagai aspek lingkungannya.

Penerjemahan bukan sekedar mencari kata-kata lain yang bermakna serupa, melainkan mencari cara yang tepat untuk mengatakan sesuatu dalam bahasa lain. Bahasa yang berbeda mungkin menggunakan bentuk linguistik yang berbeda, tetapi perbedaan ini hanyalah salah satu aspek dari perbedaan antara dua sistem bahasa.

Definisi Budaya

Kata “budaya” memiliki beragam arti. Bagi sebagian orang, kata tersebut mengacu pada apresiasi terhadap sastra, musik, seni dan makanan. Bagi seorang pakar biologi, kata tersebut mungkin pula berarti koloni bakteri atau mikroorganisme lain yang berkembangkan dalam medium gizi di sebuah cawan percobaan. Tetapi bagi para antropolog dan pakar perilaku lain, “budaya adalah semua pola perilaku manusia yang dipelajari.”

Istilah ini pertama kali digunakan dalam pengertian di atas oleh antropolog Inggris Edward B. Taylor dalam bukunya, “Primitive Culture,” yang diterbitkan tahun 1871. Taylor mengatakan bahwa budaya adalah “keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan semua kemampuan dan kebiasaan lain yang dicapai oleh manusia sebagai anggota masyarakat.”

Profesor sosiologi kenamaan Roland Robertson menulis:
“Budaya terdiri dari semua produk bersama masyarakat manusia.”

Ini berarti budaya tidak hanya meliputi aspek material seperti kota-kota, organisasi dan sekolah, tetapi juga aspek abstrak seperti ide, adat-istiadat, pola keluarga dan bahasa. Ringkasnya, budaya mengacu pada keseluruhan cara hidup masyarakat.

“Budaya menyembunyikan jauh lebih banyak daripada yang ditampakkan, dan anehnya, yang tersembunyi itu tersembunyi dengan sangat efektif dari masyarakatnya sendiri” (Kaplan 1989).

Indeed, culture is a powerful human tool for survival, but it is a fragile phenomenon. It is constantly changing and easily lost because it exists only in our minds. Our written languages, governments, buildings, and other man-made things are merely the products of culture. They are not culture in themselves. There are very likely three layers or levels of culture that are part of learned behavior patterns and perceptions. 

Cultural traditions – the body of cultural traditions that distinguish a specific society

Sub-cultural traits – common identity, food traditions, dialect or language, and other cultural traits that come from a common ancestral background and experience

Cultural universals – learned behavior patterns shared by all of humanity collectively, no matter where people live in the world. Examples of these universal traits include communicating with a verbal language, raising children in some sort of family setting, having a concept of privacy, distinguishing between good and bad behavior, etc.

Culture is the end product of learning: knowledge, in a most general, if relative, sense of the term. The things people say and do, their social arrangements and events, are products or by-products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances.

”To understand is to decipher; to hear significance is to translate.”
George Steiners

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Sejarah Penerjemahan"

Posting Komentar